Introducing
Your new presentation assistant.
Refine, enhance, and tailor your content, source relevant images, and edit visuals quicker than ever before.
Trending searches
Penyerahan BKP
a. Yang termasuk dalam pengertian penyerahan BKP adalah : (pasal 1a angka 1)
1. Penyerahan hak atas BKP karena suatu perjanjian
2. Pengalihan BKP karena suatu perjanjian sewa beli dan/atau perjanjian sewa guna usaha (leasing)
3. Penyerahan BKP kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang
4. Pemakaian sendiri dan/atau pemberian cuma-cuma atas BKP
5. BKP berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan
6. Penyerahan BKP dari Pusat ke Cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan BKP antar Cabang
7. Penyerahan BKP secara konsinyasi
8. Penyerahan BKP oleh PKP dalam rangka perjanjian pembiayaan yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah, yang penyerahannya dianggap langsung dari PKP kepada pihak yang membutuhkan BKP.
Penyerahan barang/jasa yang dikenai pajak harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: (syarat ini bersifat kumulatif Dengan demikian apabila ada satu atau lebih syarat tersebut tidak terpenuhi maka atas penyerahan barang tersebut tidak dikenai PPN) (Penjelasan pasal 4 ayat (1) huruf a dan c) :
1. Yang diserahkan merupakan BKP atau JKP
2. Penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean
Penyerahan JKP
a. Termasuk dalam pengertian penyerahan JKP adalah :
1. setiap kegiatan pemberian JKP
2. JKP yang dimanfaatkan untuk kepentingan sendiri dan/atau
3. JKP yang diberikan secara cuma-cuma.
b. Dalam Daerah Pabean
Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-Undang yang mengatur mengenai kepabeanan. (pasal 1 angka 1).
HATUR NUHUN
B. KAWASAN BERIKAT
Kawasan Berikat (KB) adalah suatu bangunan, tempat, atau kawasan dengan batas-batas tertentu yang di dalamnya dilakukan kegiatan usaha industri pengolahan barang dan bahan, kegiatan rancang bangun, perekayasaan, penyortiran, pemeriksaan awal, pemeriksaan akhir, dan pengepakan atas barang dan bahan asal impor atau barang dan bahan dari dalam Daerah Pabean Indonesia Lainnya (DPIL), yang hasilnya terutama untuk tujuan ekspor. (Sumber. KMK 291/KMK.05/1997 dan perubahannya).
Pasal 29 ayat (1) Peraturan Pemerintah 10 Tahun 2012
“Pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke Tempat Penimbunan berikat, dilakukan dengan ketentuan “:
1. Dalam hal barang merupakan barang asal Luar Daerah Pabean, diberikan penangguhan bea masuk, tidak dipungut PPN, tidak dipungut Pajak Penghasilan Pasal 22 Undang-Undang Pajak Penghasilan, dan/atau pembebasan cukai, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Tempat Penimbunan Berikat;
2. Dalam hal barang merupakan barang asal Kawasan Bebas atau barang asal tempat lain dalam Daerah Pabean, tidak dipungut PPN dan/atau diberikan pembebasan cukai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Tempat Penimbunan Berikat”
A. DAERAH PABEAN
Wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-Undang yang mengatur mengenai kepabeanan.
Didalam Daerah Pabean Republik Indonesia terdapat wilayah yang apabila terjadi Penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penjualan Barang Mewah, wilayah tersebut disebut Kawasan Berikat. Luas Kawasan Berikat tidak sama.
Penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak didalam daerah pabean dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) sesuai dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 Tentang PPN dan PPnBM.
Untuk melakukan pemungutan PPN dan PPnBM, pengusaha (Orang Pribadi atau Badan) harus menjadi Pengusaha Kena Pajak terlebih dahulu.
A. BARANG KENA PAJAK
1. Pengertian Barang Kena Pajak
Semua barang pada prinsipnya merupakan Barang Kena Pajak (dikenakan PPN) kecuali yang ditentukan lain oleh Undang-Undang Nomor PPN itu sendiri. Menurut pasal 1 angka 3, Barang Kena Pajak adalah barang yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang ini (UU No. 42 Tahun 2009). Barang Kena Pajak tersebut terdiri dari barang berwujud (bergerak dan tidak bergerak) dan barang tidak berwujud.
Pengusaha yang melakukan kegiatan penyerahan BKP atau JKP meliputi baik Pengusaha yang telah dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3A ayat (1) maupun Pengusaha yang seharusnya dikukuhkan menjadi PKP, tetapi belum dikukuhkan.
• BKP adalah barang berwujud, yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang tidak berwujud yang dikenai pajak berdasarkan Undang-undang ini (pasal 1 angka 3) (yaitu semua barang selain jenis barang yang tidak dikenai PPN yang tercantum dalam Pasal 4A ayat (2) UU PPN).
• JKP adalah setiap kegiatan pelayanan yang berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang, fasilitas, kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan, yang dikenai pajak berdasarkan Undang-undang ini (pasal 1 angka 5) (yaitu semua jasa selain jenis jasa yang tidak dikenai PPN yang tercantum dalam Pasal 4A ayat (3) UU PPN)
2. Jasa yang Tidak Dikenakan PPN
Sesuai dengan ketentuan pasal 4A ayat (3) dan penjelasannya ditetapkan jenis jasa tidak dikenakan PPN adalah :
f. Jasa di bidang keagamaan
g. Jasa di bidang pendidikan
h. Jasa di bidang kesenian dan hiburan meliputi semua jenis jasa yang dilakukan oleh pekerja seni nyang telah dikenakan Pajak Tontonan
i. Jasa di bidang penyiaran meliputi jasa penyiaran radio dan televisi baik yang dilakukan oleh instansi Pemerintah maupn swasta yang bukan bersifat iklan dan tidak dibiayai oleh sponsor yang bersetujuan komersial
j. Jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri.
k. Jasa di bidang tenaga kerja
l. Jasa yang disediakan oleh Pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum
m. Jasa penyediaan tempat parkir
n. Jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam
B. Bukan Pengusaha Kena Pajak
Ketentuan yang mengatur pengusaha Bukan PKP diatur dalam pasal 4 huruf b, huruf d, huruf e dan pasal 16 C UU PPN 1984. Berdasarkan ketentuan ini, dapat disimpulkan bahwa dapat dikenakan PPN terhadap :
1. Yang melakukan impor BKP (pasal 4 huruf b UU PPN 1984)
2. Yang memanfaatkan BKP tidak berwujud dan JKP dari Luar Daerah Pabean ke dalam daerah pabean (pasal 4 huruf d UU PPN 1984)
3. Yang membangun sendiri tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya (pasal 16 C UU PPN 1984)
2. Barang yang Tidak Dikenai Pajak Pertambahan Nilai
Sebagaimana yang telah diterangkan diatas, pada dasarnya semua barang dikenai PPN, kecuali barang barang tertentu yang disebutkan dalam UU PPN ini, barang yang tidak dikenai PPN sebagaimana disebutkan dalan Pasal 4A ayat 2 UU PPN 1984 didasarkan atas kelompok-kelompok barang sebagai berikut :
a. Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya.
b. Barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak.
c. Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau catering.
d. Uang, emas batangan, dan surat-surat berharga.
3. Impor dan/atau Penyerahan BKP Tertentu yang Dibebaskan dari PPN
Yang Dibebaskan atas Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis yang mulai berlaku tanggal 1 Januari 2007 :
a. Impor dan/atau Penyerahan BKP yang Dibebaskan dari pengenaan PPN
b. Penyerahan BKP yang Dibebaskan dari pengenaan PPN
c. Prosedur Pemberian Fasilitas Pembebasan Pengenaan PPN
Jenis-Jenis e-SPT
Menurut www.pajak.go.id jenis e-SPT dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu sebagai berikut:
1. SPT Tahunan PPh Elektronik (e-SPT Masa PPh)
E-SPT Masa PPh adalah SPT Tahunan PPh dalam bentuk program aplikasi yang merupakan fasilitas dari Direktorat Jenderal Pajak kepada Wajib Pajak yang digunakan untuk merekam, memelihara data, generate data, dan mencetak SPT Tahunan PPh beserta lampirannya dan dapat dilaporkan melalui media elektronik ke Kantor Pelayanan Pajak.
2. SPT Masa PPh Elektronik (e-SPT Masa PPh)
E-SPT Masa PPh adalah SPT Masa PPh dalam bentuk program aplikasi yang merupakan fasilitas dari Direktorat Jenderal Pajak kepada Wajib Pajak yang digunakan untuk merekam, memelihara data, generate data, dan mencetak SPT Masa PPh beserta lampirannya
dan dapat dilaporkan melalui media elektronik ke Kantor Pelayanan Pajak.
3. SPT PPN Elektronik (e-SPT PPN)
E-SPT PPN adalah SPT PPN dalam bentuk program aplikasi yang merupakan fasilitas dari Direktorat Jenderal Pajak kepada Wajib Pajak yang digunakan untuk merekam SPT beserta lampirannya, memelihara data SPT beserta lampirannya, generate data SPT digital. Untuk memperoleh e-SPT PPN, Wajib Pajak dapat memperoleh program aplikasi tersebut secara cuma-cuma dari Direktorat Jenderal Pajak. Bagi Wajib Pajak besar dapat menghubungi AR yang telah ditunjuk.
Pengertian e-SPT
e-SPT menurut DJP adalah Surat Pemberitahuan beserta lampiran-lampirannya dalam bentuk digital dan dilaporkan secara elektronik atau dengan menggunakan media komputer yang digunakan untuk membantu wajib pajak dalam melaporkan perhitungan dan pembayaran pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Tujuan dan Kelebihan e-SPT
Tujuannya adalah Sebagai informasi dan bahan evaluasi dan penerapan sistem administrasi modern perpajakan sehingga dapat mendorong digilirkannya reformasi administrasi perpajakan jangka menengah oleh DJP yang menjadi prioritas dalam reformasi perpajakan terutama dalam melanjutkan penerapan sistem administrasi modern perpajakan pada kantor - kantor pajak lainnya di seluruh Indonesia.
Kelebihannya adalah sebagai berikut :
1. Penyampaian SPT dapat dilaukan secara cepat dan aman, karena lampiran dalam bentuk media CD/flash disk.
2. Data perpajakan terorganisasi dengan baik.
3. Sistem aplikasi e-SPT mengorganisasikan data perpajakan dengan baik dan sistematisn sistematis.
4. Penghitungan dilakukan secara cepat dan tepat karena menggunakan sistem komputer.
5. Kemudahan dalam penghitungan dan pembuatan Laporan Pajak.
Mekanisme kredit pajak Pertambahan Nilai (PPN) itu sendiri adalah sebagai berikut :
6. Apabila dalam suatu masa pajak, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar daripada Pajak Keluaran, maka selisihnya merupakan kelebihan pajak yang dapat direstitusi dan dikompensasikan pada masa pajak berikutnya.
Contoh :
Selama bulan takwim terjadi kegiatan usaha sebagai berikut :
· Membeli bahan baku dan lain-lain dari pabrikan Rp. 100.000.000,-
· Menyerahkan hasil produksi dengan harga jual Rp. 60.000.000,-
Pajak Masukan yang dipungut oleh PKP lain adalah sebesar :
10 % x Rp. 100.000.000 = Rp. 10.000.000,-
Pajak Keluaran yang harus dipungut :
10 % x Rp. 60.000.000 = Rp. 6.000.000,-
PPN yang lebih dibayar dalam Masa Pajak yang bersangkutan :
Rp. 10.000.000 – Rp. 6.000.000 = Rp. 4.000.000,-
Kelebihan tersebut dapat dikompensasi pada Masa Pajak berikutnya atau dapat diminta kembali (restitusi).
Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Keluaran lebih besar dari Pajak Masukan, maka selisihnya merupakan pajak yang harus disetor ke kas negara oleh PKP.
Mekanisme kredit Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) yaitu PPnBM yang telah dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang diekspor dapat diminta kembali (restitusi).
B. JASA KENA PAJAK
1. Pengertian Jasa Kena Pajak
Jasa Kena Pajak, sebagaimana disebutkan dalam pasal 1 angka 6 UU PPN 1984 adalah jasa yang dikenakan pajak menurut Undang-Undang ini. Jadi sama halnya dengan Barang Kena Pajak, semua jasa pada dasarnya dikenakan PPN, kecuali yang dikecualikan menurut UU PPN 1984
2. Jasa yang Tidak Dikenakan PPN
Sesuai dengan ketentuan pasal 4A ayat (3) dan penjelasannya ditetapkan jenis jasa tidak dikenakan PPN adalah :
a. Jasa di bidang pelayanan kesehatan medis
b. Jasa di bidang pelayanan sosial,
c. Jasa di bidang pengiriman surat dengan perangko, meliputi jasa pengiriman surat dengan menggunakan perangko tempel dan menggunakan cara lain pengganti perangko tempel.
d. Jasa keuangan
e. Jasa Asuransi
Berdasarkan ketentuan yang mengatur tentang objek pajak sebagaimana diatur dalam pasal 4, pasal 16 C dan pasal 16 D UU PPN 1984, subjek PPN dapat dikelompokkan menjadi 2 yaitu :
A. Pengusaha Kena Pajak
Ketentuan yang mengatur bahwa sybjek PPN adalah Pengusaha Kena Pajak diatur dalam pasal 4 huruf a, huruf c, huruf f, huruf g, huruf h, dan pasal 16 D serta pasal 1 angka 15 UU PPN 1984. Berdasarkan ketentuan ini, dapat disimpulkan bahwa Pengusaha Kena Pajak adalah :
1. Pengusaha yang melakukan penyerahan BKP atau JKP (pasal 4 huruf a dan c UU PPN 1984)
2. Pengusaha yang mengekspor BKP dan JKP (pasal 4 huruf f, g, dan h UU PPN 1984)
3. Pengusaha yang melakukan penyerahan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk di perjualbelikan (pasal 16 D UU PPN 1984)
Mekanisme kredit pajak Pertambahan Nilai (PPN) itu sendiri adalah sebagai berikut :
5. Apabila dalam suatu masa pajak, Pajak Keluaran lebih besar dari Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, maka selisihnya merupakan PPN yang harus disetorkan oleh Pengusaha Kena Pajak ke Kas Negara
Contoh :
Selama bulan takwim terjadi kegiatan usaha sebagai berikut :
· Membeli bahan baku dan lain-lain dari pabrikan Rp. 150.000.000,-
· Menyerahkan BKP hasil produksi dengan harga jual Rp. 200.000.000,-
Pajak Masukan yang dipungut oleh PKP lain adalah sebesar :
10 % x Rp. 150.000.000 = Rp. 15.000.000,-
Pajak Keluaran yang harus dipungut :
10% x Rp. 200.000.000 = Rp. 20.000.000,-
PPN yang masih harus disetor ke kas negara :
Rp. 20.000.000 – Rp. 15.000.000 = Rp. 5.000.000,-
Objek PPnBM
PPnBM terutang hanya pada dua peristiwa yaitu pada saat impor BKP yang tergolong mewah dan pada saat penyerahan BKP tergolong mewah oleh Pabrikan.
BKP yang tergolong mewah berarti :
a. barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok; atau
b. barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu; atau
c. pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat yang berpenghasilan tinggi; atau
d. barang tersebut dikonsumsi untuk menunjukkan status; atau
e. apabila dikonsumsi dapat merusak kesehatan dan moral masyarakat serta mengganggu ketertiban masyarakat seperti minuman beralkohol.
4. Pengusaha Kena Pajak “D” mengimpor Barang Kena Pajak yang tergolong Mewah dengan Nilai Impor sebesar Rp5.000.000,00 Barang Kena Pajak yang tergolong mewah tersebut selain dikenai PPN juga dikenai PPnBM misalnya dengan tarif 20%.
Penghitungan PPN dan PPnBM yang terutang atas impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah tersebut adalah:
Dasar Pengenaan Pajak = Rp 5.000.000,00
PPN = 10% x Rp5.000.000,0 = Rp500.000,00
PPn BM = 20% x Rp5.000.000,00 = Rp1.000.000,00
Kemudian PKP “D” menggunakan BKP yang diimpor tersebut sebagai bagian dari suatu BKP yang atas penyerahannya dikenakan PPN 10% dan PPnBM dengan tarif misalnya 35%.
Oleh karena PPnBM yang telah dibayar atas BKP yang diimpor tersebut tidak dapat dikreditkan, maka PPnBM sebesar Rp1.000.000,00 dapat ditambahkan ke dalam harga BKP yang dihasilkan oleh PKP “D” atau dibebankan sebagai biaya.
Misalnya PKP “D” menjual BKP yang dihasilkannya, maka penghitungan PPN dan PPn BM yang terutang adalah :
Dasar Pengenaan Pajak = Rp50.000.000,00
PPN = 10% x Rp50.000.000,00
= Rp5.000.000,00
PPn BM = 35% x Rp50.000.000,00
= Rp17.500.000,00
Keterangan :
PPN sebesar Rp500.000,00 yang dibayar pada saat impor merupakan pajak masukan bagi PKP “D” dan PPN sebesar Rp5.000.000,00 merupakan pajak keluaran bagi PKP “D”. Sedangkan PPnBM sebesar Rp1.000.000,00 tidak dapat dikreditkan. Begitu pun dengan PPnBM sebesar Rp17.500.000,00 tidak dapat dikreditkan oleh PKP “X”.
Contoh Cara Menghitung PPN dan PPnBM :
1. PKP “A” menjual tunai Barang Kena Pajak dengan Harga Jual Rp 25.000.000,00
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang = 10% x Rp25.000.000,00
= Rp2.500.000,00
PPN sebesar Rp2.500.000,00 tersebut merupakan Pajak Keluaran yang dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak “A”.
2. PKP “B” melakukan penyerahan Jasa Kena Pajak dengan memperoleh Penggantian sebesar Rp20.000.000,00.
PPN yang terutang yang dipungut oleh PKP “B = 10% x Rp20.000.000,00
= Rp 2.000.000,00
PPN sebesar Rp2.000.000,00 tersebut merupakan Pajak Keluaran yang dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak “B”.
3. Seseorang mengimpor Barang Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dengan Nilai Impor sebesar Rp15.000.000,00.
PPN yang dipungut melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai = 10% x Rp15.000.000,00
= Rp 1.500.000,00
Pasal 2 ayat 2 berbunyi :
Hubungan istimewa dianggap ada apabila :
Pengusaha mempunyai penyertaan langsung atau tidak langsung sebesar 25% (dua puluh lima persen ) atau lebih pada Pengusaha lain, atau hubungan antara Pengusaha dengan penyertaan 25% ( dua puluh lima persen ) atau lebih pada dua Pengusaha atau lebih, demikian pula hubungan antara dua Pengusaha atau lebih yang disebut terakhir; atau
Pengusaha menguasai Pengusaha lainnya atau dua atau lebih Pengusaha berada di bawah penguasaan Pengusaha yang sama baik langsung maupun tidak langsung atau
Terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus satu derajat dan/atau ke samping satu derajat.
Penjelasan :
Hubungan istimewa antara Pengusaha Kena Pajak dengan pihak yang menerima penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dapat terjadi karena ketergantungan atau keterikatan satu dengan yang lain yang disebabkan karena : faktor kepemilikan atau penyertaan;adanya penguasaan melalui manajemen atau penggunaan teknologi
Selain karena hal-hal tersebut di atas, hubungan istimewa di antara orang pribadi dapat pula terjadi karena adanya hubungan darah atau karena perkawinan.
Mekanisme pengenaan Pajak Pertambahan Nilai terdapat 2 (dua) yaitu pajak masukan dan pajak keluaran :
a. Pajak masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang seharusnya sudah dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak karena perolehan Barang Kena Pajak atau penerimaan Jasa Kena Pajak dan atau pemanfaat Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean dan atau pemanfaatn Jasa Kena Pajak dari luar daerah pabean atau impor Barang Kena Pajak.
b. Pajak keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terutang yang wajib dipungu oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak.
Mekanisme kredit pajak Pertambahan Nilai (PPN) itu sendiri adalah sebagai berikut :
1. Pembeli barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak wajib membayar Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan berhak menerima bukti pungutan pajak.
2. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang seharusnya sudah dibayar tersebut merupakan Pajak Masukan bagi pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak.
3. Pajak Masukan yang wajib dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak dapat dikreditkan dengan pajak Keluaran yang dipungutnya dalam Masa Pajak yang sama.
4. Pajak masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran dimana tempat/lokasi Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan.
Objek PPN
a. penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha. (UU No 11 Tahun 1994)
b. impor Barang Kena Pajak. (UU No 11Tahun 1994)
c. penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabeanyang dilakukan oleh Pengusaha. (UU No 18 Tahun 2000)
d. pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujuddari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean. (UU No 11 Tahun 1994)
e. pemanfaatan Jasa Kena Pajak dariluar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; atau (UU No 11 Tahun 1994)
f. ekspor Barang Kena Pajak oleh PengusahaKena Pajak. (UU No 18 Tahun 2000)
MEKANISME PENGENAAN
1. Pada saat membeli/memperoleh BKP/JKP, akan dipungut PPN oleh PKP penjual. Bagi pembeli, PPN yang dipungut oleh PKP penjual tersebut merupakan pembayaran pajak dimuka dan disebut dengan Pajak Masukan. Pembeli berhak menerima bukti pemungutan berupa faktur pajak.
2. Pada saat menjual/menyerahkan BKP/JKP kepada pihak lain, wajib memungut PPN. Bagi penjual, PPN tersebut merupakan Pajak keluaran. Sebagai bukti telah memungut PPN, PKP penjual wajib membuat faktur pajak.
3. Apabila dalam suatu masa pajak (jangka waktu yang lamanya sama dengan satu bulan takwim) jumlah Pajak Keluaran lebih besar daripada jumlah Pajak Masukan, selisihnya harus disetorkan ke kas Negara.
4. Apabila dalam suatu masa pajak jumlah Pajak Keluaran lebih kecil daripada jumlah Pajak Masukan, selisihnya dapat direstitusi (diminta kembali) atau dikompensasikan ke masa pajak berkutnya.
5. Pelaporan penghitungan PPN dilakukan setiap masa pajak dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN).
PPN = Dasar Pengenaan Pajak x Tarif Pajak
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) :
d. Merupakan pajak atas konsumsi dalam negeri.
Oleh karena itu salah satu syarat dikenakannya PPN atas suatu transaksi adalah bahwa BKP/JKP dikonsumsi di dalam Daerah Pabean. Hal inilah yang mendasari pengenaan PPN dengan tarif 0% atas kegiatan ekspor sedangkan untuk kegiatan impor tetap dikenakan PPN 10%.
e. Merupakan beban konsumen akhir.
PPN merupakan pajak tidak langsung sehingga beban pajaknya bisa dialihkan oleh PKP. Pengenaan PPN yang dilakukan beberapa kali tidak menjadi beban PKP karena beban PPN tersebut pada akhirnya akan dialihkan kepada konsumen yang menikmati BKP pada rantai terakhir.
f. Netral terhadap persaingan.
PPN bukan merupakan beban yang menambah harga pokok penjualan karena PPN menganut sistem pengkreditan yang memungkinkan PPN yang dibayarkan pada saat pembelian diperhitungkan dengan PPN yang harus dipungut saat penjualan.
g. Menganut destination principle.
Untuk menentukan suatu transaksi dikenakan PPN atau tidak, terlebih dahulu harus dilihat di negara mana pihak konsumen berada. Apabila konsumen berada di luar negeri maka transaksi tersebut tidak dikenakan PPN karena PPN adalah pajak atas konsumsi dalam negeri.
Pasal 7 UU PPN 1984 merumuskan :
1. Tarif Pajak Pertambahan Nilai adalah 10% (sepuluh persen).
2. Tarif Pajak Pertambahan Nilai sebesar 0% (nol persen diterapkan atas:
a. ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;
b. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; dan
c. ekspor Jasa Kena Pajak.
3. Tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diubah menjadi paling rendah 5% (lima persen) dan paling tinggi 15% (lima belas persen) yang perubahan tarifnya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean. Oleh karena itu,
a. Barang Kena Pajak Berwujud yang diekspor;
b. Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari dalam Daerah Pabean yang dimanfaatkan di luar Daerah Pabean; atau
c. Jasa Kena Pajak yang diekspor termasuk Jasa Kena Pajak yang diserahkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan dan melakukan ekspor Barang Kena Pajak atas dasar pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan di luar Daerah Pabean, dikenai Pajak Pertambahan Nilai dengan tarif 0% (nol persen).
C. LARANGAN MEMBUAT FAKTUR PAJAK
Orang Pribadi atau Badan yang tidak dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dilarang membuat Faktur Pajak.
PKP dikenai sanksi administrasi sebesar 2% dari Dasar Pengenaan Pajak apabila tidak membuat Faktur Pajak, tidak mengisi Faktur Pajak secara lengkap, dan melaporkan Faktur Pajak tidak sesuai dengan masa penerbitan Faktur Pajak.
PPN dan PPnBM yang terutang dihitung dengan cara mengalikan Tarif Pajak dengan Dasar Pengenaan Pajak (DPP)
Definisi Dasar Pengenaan Pajak
Pasal 1 Angka 17 UU PPN 1984 merumuskan : “Dasar Pengenaan Pajak adalah Jumlah Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau Nilai Lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang.”
B. SAAT PEMBUATAN FAKTUR PAJAK
Faktur Pajak harus dibuat pada:
• saat penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak;
• saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak;
• saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan; atau
• saat lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan tersendiri.
Faktur Pajak gabungan harus dibuat paling lama pada akhir bulan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak.
Faktur Pajak yang diterbitkan oleh PKP setelah jangka waktu 3 bulan sejak saat Faktur Pajak seharusnya dibuat, dianggap tidak menerbitkan Faktur Pajak.
Berdasarkan keterangan diatas, Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai adalah :
1. Harga Jual (Pasal 1 Angka 18 UU PPN 1984)
Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-Undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak
2. Penggantian (Pasal 1 Angka 19 UU PPN 1984)
Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pengusaha karena penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Jasa Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud
3. Nilai Impor (Pasal 1 Angka 20 UU PPN 1984)
Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk ditambah pungutan berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundangundangan yang mengatur mengenai kepabeanan dan cukai untuk impor Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut menurut Undang- Undang ini.
4. Nilai Ekspor (Pasal 1 Angka 20 UU PPN 1984)
Nilai Ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh eksportir.
5. Nilai Lain
Nilai Lain adalah suatu Nilai yang ditetapkan sebagai DPP karena kesulitan dalam menetapkan Harga Jual atau Nilai Penggantian yang sebenarnya. PMK terbaru yang mengatur tentang nilai lain ini adalah PMKNomor 75/PMK.03/2010 Tentang Nilai Lain Sebagai Dasar Pengenaan Pajak .
MEKANISME PELAPORAN
Pelaporan dilakukan setiap bulan dan laporan disampaikan ke KPP tempat BUMN terdaftar paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak dengan menggunakan formulir “Surat Pemberitahuan Masa PPN bagi Pemungut PPN” dan dilampiri dengan faktur pajak lembar ke-3 dan Surat Setoran Pajak (SSP) lembar ke-5 dalam hal terdapat pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
MEKANISME PEMUNGUTAN
Mekanisme pemungutan PPN sesuai dengan PMK Nomor 85/PMK.03/2012 tanggal 06 Juni 2012 yang berlaku efektif mulai 1 Juli 2012 adalah:
1. Rekanan wajib membuat faktur pajak dan surat setoran pajak (SSP) atas setiap penyerahan BKP dan/atau JKP kepada BUMN.
2. Faktur pajak sebagaimana dimaksud pada angka 1 dibuat sesuai dengan ketentuan di bidang perpajakan.
3. SSP sebagaimana dimaksud pada angka 1 diisi dengan membubuhkan NPWP serta identitas rekanan, tetapi penandatanganan SSP dilakukan oleh BUMN sebagai penyetor atas nama rekanan.
4. Dalam hal penyerahan BKP selain terutang PPN juga terutang PPnBM maka rekanan harus mencantumkan juga jumlah PPnBM yang terutang pada faktur pajak.
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) :
a. Pajak Objektif.
Yaitu suatu jenis pajak yang timbulnya kewajiban pajaknya sangat ditentukan oleh objek pajak. Keadaan subjek pajak tidak menjadi penentu kecuali untuk kasus tertentu.
b. Dikenakan pada setiap rantai distribusi (Multi Stage Tax).
Sepanjang suatu transaksi memenuhi syarat sebagaimana disebutkan dalam angka 2, maka pihak PKP Penjual berkewajiban memungut PPN atas transaksi yang terjadi dan kemudian menyetorkan ke Kas Negara dan melaporkannya.
c. Menggunakan mekanisme pengkreditan.
Sesuai dengan namanya maka pada hakekatnya PPN hanya dikenakan atas nilai tambah yang terjadi atas BKP karena adanya proses pabrikasi maupun distribusi. Oleh karena itu PPN yang terutang dalam suatu Masa Pajak diperhitungkan terlebih dahulu dengan PPN yang telah dibayarkan oleh PKP pada saat pembelian bahan baku dan faktor produksi lainnya, sehingga meskipun PPN dikenakan beberapa kali namun tidak menimbulkan efek pajak berganda.
A. FAKTUR PAJAK
Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP).
Pengusaha Kena Pajak wajib membuat Faktur Pajak untuk setiap:
• penyerahan Barang Kena Pajak;
• penyerahan Jasa Kena Pajak;
• ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; dan/atau
• ekspor Jasa Kena Pajak.
Pengusaha Kena Pajak dapat membuat 1 (satu) Faktur Pajak meliputi seluruh penyerahanyang dilakukan kepada pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak yangsama selama 1 (satu) bulan kalender yang disebut dengan Faktur Pajak gabungan.
Dipungut berdasarkan Undang-Undang nomor 8 tahun 1983 merupakan pajak yang dikenakan terhadap pertambahan nilai (value added) yang timbul akibat dipakainya faktor-faktor produksi disetiap jalur perusahaan dalam menyiapkan, menghasilkan, menyalurkan dan memperdagangkan barang atau pemberian pelayanan jasa kepada para konsumen
MEKANISME PEMUNGUTAN
5. Faktur pajak dibuat dalam rangkap 3 dengan peruntukkan sebagai berikut : lembar kesatu untuk BUMN, lembar kedua untuk rekanan, dan lembar ketiga untuk BUMN yang dilampirkan pada SPT Masa PPN bagi pemungut PPN.
6. SSP sebagaimana dimaksud pada angka 1 dibuat dalam rangkap 5 dengan peruntukkan sebagai berikut : lembar kesatu untuk rekanan, lembar kedua untuk KPPN melalui Bank Persepsi atau Kantor Pos, lembar ketiga untuk rekanan yang dilampirkan pada SPT Masa PPN, lembar keempat untuk Bank Persepsi atau Kantor Pos, dan lembar kelima untuk BUMN yang dilampirkan pada SPT Masa PPN bagi Pemungut PPN.
7. BUMN yang melakukan pemungutan harus membubuhkan cap “Disetor tanggal....” dan menandatanganinya pada faktur pajak sebagaimana dimaksud pada angka 5.
8. Faktur Pajak dan SSP merupakan bukti pemungutan dan penyetoran PPN atau PPN dan PPnBM.
Menurut undang-undang yang berlaku di Indonesia, merupakan pajak yang dikenakan pada barang yang tergolong mewah yang dilakukan oleh produsen (pengusaha) untuk menghasilkan atau mengimpor barang tersebut dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya.
B. Tempat Pajak Terutang
Berdasarkan Pasal 12 UU PPN 1984 ditetapkan bahwa pajak terutang di :
1) tempat tinggal atau tempat kedudukan ; dan
2) tempat kegiatan usaha dilakukan, atau
3) tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak ;
4) tempat BKP dimasukkan, dalam hal impor ;
5) tempat orang pribadi atau badan terdaftar sebagai Wajib Pajak dalam hal pemanfaatan BKP Tidak Berwujud atau JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean ; atau
6) satu tempat atau lebih yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak sebagai tempat pemusatan pajak terutang atas permohonan tertulis dari Pengusaha Kena Pajak.
A. Saat Pajak Terutang.
Untuk menentukan saat pajak terutang sangat erat kaitannya dengan penentuan saat tim-bulnya utang pajak. Sebagai pajak objektif, PPN menganut ajaran materiil timbulnya utang pajak yaitu utang pajak timbul karena undang-undang.
Dari ketentuan Pasal 11 UU PPN 1984 ditetapkan bahwa pajak terutang :
1) pada saat penyerahan BKP atau JKP
2) pada saat impor BKP
3) pada saat dimulai pemanfaatan BKP Tidak Berwujud atau JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean
4) pada saat pembayaran dalam hal :
a. pembayaran diterima sebelum penyerahan BKP atau JKP
b. pembayaran dilakukan sebelum dimulai pemanfaatan BKP Tidak Berwujud atau JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
5) pada saat lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
KELOMPOK 5
DEVI TRENGGANI 1615102006
LAIQA S. F. 1615102019
RIDA FARDILA 1615102020