Introducing
Your new presentation assistant.
Refine, enhance, and tailor your content, source relevant images, and edit visuals quicker than ever before.
Trending searches
Indische Partij & Gerakan Pemuda
Levina Setiayani
XI IPS 2 / 16
Organisasi ini secara terang-terangan mengkritik pemerintah Belanda dan menuntut kemerdekaan Indonesia. Untuk itu, organisasi ini berkomitmen menyatukan semua golongan yang ada di Indonesia, baik golongan Indonesia asli maupun golongan Indo, Tionghoa, dan Arab. Mereka akan dipadukan dalam kesatuan bangsa dengan semangat nasionalisme Indonesia.
Indische Partij (IP) didirikan di Bandung pada 25 Desember 1912 oleh Tiga Serangkai, yakni Douwes Dekker (Setyabudi Danuditjo ), dr. Cipto Mangunkusumo, dan Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara).
Cita-cita Indische Partij ini disebarluaskan melalui surat kabar De Expres, dengan semboyan "Indische los van Holland'', yang berarti Indonesia bebas dari Belanda dan "Indie voor Indiers", yang berarti Hindia untuk orang Hindia. Seluruh anggotanya memang menyebut diri Indiers, yang berarti orang Indonesia. lndische Partij memperkenalkan paham kebangsaan yang disebut dengan Indische nationalism atau nasionalisme Hindia yang tidak membedakan keturunan, suku bangsa, agama, kebudayaan, bahasa, dan adat istiadat.
l) Menanamkan cita-cita nasional Hindia (Indonesia).
2) Memberantas kesombongan sosial dalam pergaulan baik bidang pemerintahan maupun kemasyarakatan.
3)Memberantas usaha-usaha yang membangkitkan kebencian antaragama.
4) Memperbesar pengaruh pro-Hindia di lapangan pemerintahan.
5) Berusaha mendapatkan kesamaan hak bagi semua orang Hindia.
6) Dalam hal pengajaran, kegunaannya harus ditujukan untuk kepentingan ekonomi Hindia dan memperkuat mereka yang ekonominya lemah.
Berdasarkan golongan Indo yang makmur, Indische Partij merupakan partai pertama yang menuntut kemerdekaan Indonesia. Kritik anggota Indische Partij yang terlalu keras membuat gerak-gerik para pemimpinnya mendapatkan pengawasan ketat dari pemerintah Belanda. Partai ini berusaha didaftarkan status badan hukumnya pada pemerintah kolonial Hindia Belanda tetapi ditolak pada tanggal 11 Maret 1913, penolakan dikeluarkan oleh Gubernur Jendral Idenburg sebagai wakil pemerintah Belanda di negara jajahan. Alasan penolakkannya adalah karena organisasi ini dianggap oleh kolonial saat itu dapat membangkitkan rasa nasionalisme rakyat dan bergerak dalam sebuah kesatuan untuk menentang pemerintah kolonial Belanda.
Kecemasan Belanda terhadap organisasi ini mencapai puncaknya sehingga ketiga pemimpin ini ditangkap dan dibuang ke negeri Belanda pada tahun 1913. Belanda beralasan organisasi ini bersifat politis serta mengganggu ketertiban umum. Rencana penangkapan bermula ketika Ki Hajar Dewantara menulis di surat kabar De Expres berjudul "Als ik eens Nederlander was" (Seandainya Saya Seorang Belanda) terbitan 13 Juli 1913. lsinya berupa sindiran terhadap ketidakadilan di daerah jajahan. Di dalamnya, Ki Hajar Dewantara menulis tentang bagaimana pemerintah Belanda mencari dana dari rakyat Indonesia untuk merayakan peringatan 100 tahun kemerdekaan Belanda dari penjajahan Prancis.
Menyusul sarkasme dari Dr. Cipto Mangunkusumo yang dimuat dalam De Expres tanggal 26 Juli 1913 yang diberi judul Kracht of Vrees?, berisi tentang kekhawatiran, kekuatan, dan ketakutan. Dr. Tjipto pun ditangkap, yang membuat rekan dalam Tiga Serangkai, Douwes Dekker mengkritik dalam tulisan di De Express tanggal 5 Agustus 1913 yang berjudul Onze Helden: Tjipto Mangoenkoesoemo en Soewardi Soerjaningrat (Pahlawan kita: Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat). Douwes Dekker dibuang ke Kupang, NTT sedangkan Dr. Cipto Mangunkusumo dibuang ke Pulau Banda.
Pada tahun 1914 Cipto Mangunkusumo dikembalikan ke Indonesia karena sakit. Sedangkan Suwardi Suryaningrat dan E.F.E. Douwes Dekker baru kembali ke Indonesia pada tahun 1919. Suwardi Suryaningrat terjun dalam dunia pendidikan, dikenal sebagai Ki Hajar Dewantara, mendirikan perguruan Taman Siswa. E.F.E Douwes Dekker juga mengabdikan diri dalam dunia pendidikan dan mendirikan yayasan pendidikan Ksatrian Institute di Sukabumi pada tahun 1940. Dalam perkembangannya, E.F.E Douwes Dekker ditangkap lagi dan dibuang ke Suriname, Amerika Selatan.
Selanjutnya, pada tahun yang sama, pemerintah kolonial belanda menyatakan organisasi ini sebagai organisasi terlarang. Organisasi ini kemudian berganti nama menjadi lnsulinde. lnsulinde tidak berumur panjang, pada tahun 1919 berubah nama menjadi National lndische Partij (NIP). Akhirnya pun organisasi ini tenggelam karena tidak adanya pemimpin seperti 3 serangkai yang sebelumnya.
Sejak berdirinya Budi Utomo, pemuda Indonesia ikut bergabung. Namun, pemuda ini tidak berkembang membentuk gerakan. Mereka tidak lama bergabung dalam Budi Utomo karena kecewa atas terlalu dominannya golongan tua dalam organisasi tersebut.
Selanjutnya, gerakan pemuda tumbuh dan berkembang secara mandiri di berbagai daerah di Indonesia. Mula-mula dibentuk sebagai sebuah gerakan solidaritas yang bersifat informal, gerakan-gerakan pemuda ini kemudian menjelma menjadi sebuah gerakan politik atau gerakan kebangsaan dengan cita-cita Indonesia yang merdeka dan maju.
Jong Java adalah suatu organisasi kepemudaan yang didirikan oleh Satiman Wirjosandjojo di Gedung STOVIA pada tanggal 7 Maret 1915 dengan nama awal Tri Koro Dharmo (Tiga Tujuan Mulia). Perkumpulan pemuda ini didirikannya karena banyak pemuda yang menganggap bahwa Budi Utomo dianggap sebagai organisasi elit.
Pada saat didirikan, ketuanya adalah Dr. Satiman Wirjosandjojo, dengan wakil ketua Wongsonegoro, sekretarisnya Sutomo dan anggotanya Muslich, Mosodo dan Abdul Rahman.Tri Koro Dharmo bertujuan untuk mempersatukan para pelajar pribumi, menyuburkan minat pada kesenian dan bahasa nasional serta memajukan pengetahuan umum untuk anggotanya. Hal ini dilakukan antara lain dengan menyelenggarakan berbagai pertemuan dan kursus, mendirikan lembaga yang memberi beasiswa, menyelenggarakan berbagai pertunjukan kesenian, serta menerbitkan majalah Tri Koro Dharmo.
TKD berubah menjadi Jong Java pada 12 Juni 1918 dalam kongres I-nya yang diadakan di Solo,yang dimaksudkan untuk bisa merangkul para pemuda dari Sunda, Madura dan Bali. Bahkan tiga tahun kemudian atau pada tahun 1921 terbersit ide untuk menggabungkan Jong Java dengan Jong Sumatranen Bond, tetapi upaya ini tidak berhasil.
Oleh karena jumlah murid-murid Jawa merupakan anggota terbanyak, maka perkumpulan ini tetap bersifat Jawa dan terlihat dalam kongres II yang diadakan di Yogyakarta pada tahun 1919 yang dihadiri oleh sedikit anggota yang tidak berbahasa Jawa. Namun dalam kongres ini dibicarakan beberapa hal besar antara lain:
1. Milisi untuk bangsa Indonesia
2. Mengubah bahasa Jawa menjadi lebih demokratis
3. Perguruan tinggi
4. Kedudukan wanita Sunda
5.Sejarah tanah Sunda dan
6.Arti pendirian nasional Jawa dalam pergerakan rakyat[3]
Pada pertengahan tahun 1920 diadakan kongres III di Solo, Jawa Tengah dan pada pertengahan tahun 1921 diadakan kongres ke-IV di Bandung, Jawa Barat. Kedua kongres tersebut memiliki tujuan untuk membangunkan cita-cita Jawa Raya. dan mengembangkan rasa persatuan di antara suku-suku bangsa di Indonesia.
Dalam semua kongres yang pernah diadakan, perkumpulan ini tidak akan ikut serta dalam aksi politik, di mana hal ini ditegaskan dalam kongresnya yang ke-V, pada tahun 1922 di Solo, Jawa Tengah, bahwa perkumpulan ini tidak akan mencampuri politik ataupun aksi politik.
Namun pada kenyataannya perkumpulan ini mendapatkan pengaruh politik yang cukup kuat yang datang dari Serikat Islam (SI) di bawah pimpinan Haji Agus Salim. Dalam kongresnya pada tahun 1924, pengaruh SI semangkin terasa sehingga mengakibatkan beberapa tokoh yang berpegang teguh pada asas agama Islam akhirnya keluar dari perkumpulan ini dan membentuk Jong Islamieten Bond (JIB).
Pada tahun 1925 wawasan organisasi ini meluas dengan menyerap gagasan persatuan Indonesia dan pencapaian Indonesia merdeka. Pada tahun 1928, organisasi ini siap bergabung dengan organisasi kepemudaan lainnya dan ketuanya R. Koentjoro Poerbopranoto, menegaskan kepada anggota bahwa pembubaran Jong Java, semata-mata demi tanah air. Oleh karena itu, maka terhitung sejak tanggal 27 Desember 1929, Jong Java pun bergabung dengan Indonesia Moeda.
Trikoro Dharmo memiliki tiga visi mulia, yaitu sakti yang berarti kekuasaan dan kecerdasan, budi berarti bijaksana, dan bakti berarti kasih sayang.
1) Mempererat tali persaudaraan antarsiswa-siswi bumiputra pada sekolah menengah dan kejuruan.
2) Menambah pengetahuan umum bagi para anggotanya.
3) Membangkitkan dan mempertajam peranan untuk segala bahasa dan budaya.
Organisasi kepemudaan lain dengan keanggotaan yang cukup besar berasal dari Sumatra bernama Jong Sumateranen Bond. Perkumpulan ini didirikan pada tahun 1917 di Batavia. Pada kongresnya yang ketiga, organisasi ini pernah melontarkan pemikiran Mohammad Yamin, yaitu anjuran agar penduduk yang mendiami Nusantara ini menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar dan bahasa persatuan.
Jong Sumatra terbit pertama kali pada bulan Januari 1918. Dengan jargon Organ van Den Jong Sumatranen Bond, surat kabar ini terbit secara berkala dan tidak tetap, kadang bulanan, kadang triwulan, bahkan pernah terbit setahun sekali. Bahasa Belanda merupakan bahasa mayoritas yang digunakan kendati ada juga artikel yang memakai bahasa Melayu. Jong Sumatra dicetak di Weltevreden, Batavia, sekaligus pula kantor redaksi dan administrasinya.
Dari organisasi ini muncul nama-nama besar, seperti Mohamad Hatta dan Mohammad Yamin
Sumatra memang dikenal banyak menghasilkan jago-jago pergerakan, dan banyak di antaranya yang mengawali karier organisasinya melalui JSB, seperti Mohammad Hatta dan Mohammad Yamin. Hatta adalah bendahara JSB di Padang 1916-1918. Kemudian ia menjadi pengurus JSB Batavia pada 1919 dan mulai mengurusi Jong Sumatra sejak 1920 hingga 1921. Selama di Jong Sumatra inilah Hatta banyak menuangkan segenap alam pikirannya, salah satunya lewat karangan berjudul “Hindiana” yang dimuat di Jong Sumatra no 5, th 3, 1920.
Mohammad Yamin adalah salah satu putra Sumatra yang paling dibanggakan. Karya-karyanya yang berupa esai ataupun sajak sempat merajai Jong Sumatra. Ia memimpin JSB pada 1926-1928 dan dengan aktif mendorong pemikiran tentang perlunya bahasa Indonesia digunakan sebagai bahasa persatuan. Kepekaan Yamin meraba pentingnya bahasa identitas sudah mulai terlihat dalam tulisannya di Jong Sumatra no 4, th 3, 1920. Jong Sumatra berperan penting dalam memperjuangkan pemakaian bahasa nasional, dengan menjadi media yang pertama kali mempublikasikan gagasan Yamin, mengenai bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan.
Pada tahun 1918, berdiri pula persatuan pemuda-pemuda Ambon, yang disebut Jong Ambon. Selanjutnya, antara tahun 1918-1919 berdiri pula Jong Minahasa dan Jong Celebes. Salah satu tokoh yang lahir dari persatuan pemuda Minahasa adalah Sam Ratulangi.
Kongres Pemuda adalah kongres nasional yang pernah diadakan 2 kali di Jakarta (Batavia). Kongres ini diikuti oleh seluruh organisasi pemuda saat itu seperti Jong Java, Jong Sumatra, Jong Betawi, dan organisasi pemuda lainnya. Kongres ini telah menunjukkan adanya kekuatan untuk membangun persatuan dari seluruh organisasi pemuda yang ada di Indonesia.
Maka pada tanggal 30 April-2 Mei 1926 di Jakarta diselenggarakan “Kerapatan Besar Pemuda”, yang kemudian terkenal dengan nama “Kongres Pemuda I”. Kongres Pemuda I ini dihadiri oleh wakil organisasi pemuda Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Ambon, Sekar Rukun, Jong Islamieten Bond, Studerenden Minahasaers, kemudian Jong Bataks Bond dan Pemuda Kaum Theosofi juga ikut dalam kerapatan besar. kongres ini dipimpin oleh Mohammad Tabrani.
Tujuan Kongres Pemuda I ialah mencari jalan membina perkumpulan pemuda yang tunggal, yaitu membentuk sebuah badan sentral dengan maksud :
1. Memajukan persatuan dan kebangsaan.
2. Menguatkan hubungan antara sesama perkumpulan-perkumpulan pemuda kebangsaan.
Hasil utama yang dicapai Kongres Pemuda I ialah mengakui dan menerima cita-cita persatuan Indonesia, walaupun masih samara-samar dan belum jelas. Pemuda-pemuda mengakui meskipun terdapat perbedaan sosial dan kesukuan, tetapi terdapat pula rasa persatuan nasional.
1. Belum tiba waktunya organisasi daerah berpadu menjadi suatu organisasi yang tunggal, dan masih terdapat keraguan pada sementara organisasi pemuda akan kegunaan persatuan.
2.Masih terdapat kesalah pahaman dan kurang pengertian tentang perlunya fusi diantara organisasi pemuda itu.
3. Adanya pandangan yang berbeda mengenai persatuan nasional dari kaum theosofi (Dienaren Van Indie) yang terasa menjalankan peranannya waktu itu.
4. Keraguan, kesalah pahaman dan kurang pengertian antara kita sendiri ini juga merupakan akibat dari politik pemerintah Hindia Belanda yang selama ratusan tahun menjalankan disini politik pecah belah (Devide et impera).
Kongres kedua ini diselenggarakan pada tanggal 27-28 Oktober 1928, dan 750 orang wakil darl organisasi-organisasi kepemudaan berhasil menunjukkan persatuan dan tekad yang sama melalui apa yang disebut dengan Sumpah Pemuda. Ketua Kongres Pemuda II dipimpin oleh Sugondo Joyopuspito dan wakilnya Joko Marsaid Penyelenggaraan kongres pemuda hari pertama di gedung Katholikee Jongelingen Bond (Gedung Pemuda Katolik). Hari kedua di gedung Oost Java (sekarang di Medan Merdeka Utara Nomor 14).
Ada pun tujuan kongres pemuda II ( yang kemudian dikenal dengan tujuan sumpah pemuda ) sebagai berikut
1. Melahirkan cita cita semua perkumpulan pemuda pemuda Indonesia
2. Membicarakan beberapa masalah pergerakan pemuda Indonesia
3. Memperkuat kesadaran kebangsaan indonesia dan memperteguh persatuan Indonesia
Dalam Sumpah Pemuda, para pemuda berikrar untuk "bertumpah darah satu yaitu tanah Indonesia; berbangsa satu, yaitu bangsa Indonesia; berbahasa satu yaitu bahasa Indonesia”.
Dalam kongres ini juga untuk pertama kalinya, lagu "Indonesia Raya" ciptaan W. R. Supratman diperdengarkan. Lagu ini kelak menjadi lagu kebangsaan Negara Indonesia. Selain itu, simbol identitas bangsa berupa bendera merah putih dikibarkan mengiringi lagu tersebut.
Butir Sumpah Pemuda yang pertama adalah mengenai janji bertumpah darah satu, yaitu tanah Indonesia. Sumpah yang diucapkan pemuda saat itu menyiratkan makna bahwa banyaknya pulau di Indonesia bukan menjadi penghalang untuk bersatu. Justru, laut menjadi pemersatu bangsa Indonesia. Selain itu, butir pertama Sumpah Pemuda menjadi tolok ukur tingkat kesetiaan rakyat kepada bangsa dan negaranya. Kesetiaan terhadap negara pada saat ini dapat diwujudkan dengan menggunakan produk-produk buatan Indonesia atau membantu saudara kita yang terkena bencana alam di wilayah lain.
Butir kedua Sumpah Pemuda dibutuhkan untuk menguatkan butir pertama. Beragamnya suku bangsa di Indonesia dapat dilihat dalam sejarah berdirinya organisasi pergerakan nasional yang awalnya masih bersifat kesukuan. Untuk menyatukan perbedaan tersebut dibutuhkan tekad kuat demi mewujudkan cita-cita bersama bangsa Indonesia. Meskipun keberagaman suku di Indonesia rentan menimbulkan konflik, dengan sikap saling menghormati dan menghargai perbedaan suku dan kebudayaan yang ada di Indonesia, konflik dapat diatasi atau dihindari. Contohnya, kita dapat mendukung atlet Indonesia yang sedang berkompetisi dalam kancah internasional tanpa membedakan suku, agama, dan ras.
Tolok ukur eksistensi suatu bangsa ditentukan oleh cara dan sikap bangsa tersebut dalam berbahasa. Itulah makna yang dimaksudkan oleh butir ketiga dalam Sumpah Pemuda, yaitu "berbahasa satu, bahasa Indonesia". Menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia adalah tanggung jawab sebagai warga negara. Pemenuhan tanggung jawab ini pada setiap individu tentu berbeda-beda tergantung beberapa hal, misalnya latar belakang pendidikan, profesi, dan minat tiap individu terhadap bahasa Indonesia. Latar belakang pemilihan bahasa Melayu berdasarkan bukti sejarah menunjukkan sebagai bahasa penghubung dalam berbagai kegiatan, khususnya perdagangan di wilayah Nusantara.
Sumpah Pemuda telah membuktikkan bahwa keberagaman masyarakat bukanlah ohambatan untuk mencapai • persatuan dan kesatuan. Sebaliknya, keberagaman harus disikapi sebagai suatu hal yang mendorong kemajuan bangsa. Semangat Sumpah Pemuda yang mengilhami berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia sangat relevan hingga saat ini.
Kegagalan dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia membuat para pemuda sadar bahwa rasa nasionalisme harus dipadukan. Karena itu, diadakanlah Kongres Pemuda I dan II. Mereka menjadi satu, menjadi “Pemuda Indonesia”. Semangat persatuan para pemuda dulu harus diikuti pemuda masa kini. Yaitu, mengisi kemerdekaan dengan hal positif yang berguna bagi nusa dan bangsa.